Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2011

KONFLIK ARJUNA DAN KARNA DALAM PUTRA MATAHARI-NYA KARSONO

A. Purwawacana Puisi sebagai salah satu genre sastra, jelas bersifat mimesis. Untuk itu, seorang penyair harus mampu melepaskan ketersekatan diri dengan dirinya sendiri. Jika tidak, maka dia akan menghasilkan puisi yang keluh kesah, bukan puisi yang bermakna. Penyair harus mampu mengatasi perhatian pada diri sendiri lalu mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang bisa ditangkapnya. Jika itu dilakukan, maka dia akan menghasilkan puisi-puisi yang bagus. Sebagai hasil kreasi manusia, puisi mampu memaparkan realitas di luar diri manusia persis apa adanya. Puisi merupakan sebuah karya sastra yang bisa menjadi sebuah cermin yang merupakan refleksi dari realita yang ada dalam suatu masyarakat. Inilah makna mimesis menurut Plato. Namun, puisi bukanlah barang mentah, ia telah menjadi sebuah masakan. Kita sebagai pembaca tinggal menyantapnya. Sebagai sebuah masakan, tentu peran penyair begitu jelas berfungsi sebagai koki. Apa yang menjadi bahan mentah yang ditangkap dari sebuah rea

PENGAJARAN BAHASA BERDASARKAN USIA PEMBELAJAR

Guru memegang kedudukan dan peran yang sangat sentral dalam sistem pendidikan persekolahan. Ia merupakan arsitek bagi terjadinya proses belajar mengajar. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika kegagalan dan keberhasilan pendidikan akan terlontar ke pundak guru, sebagai penyebab utama. Guru pun akan dicaci dan dipuji. Tugas guru sebenarnya tidak terbatas pada ruang segi empat yang bernama kelas dengan sekelompok “anak-anak” di dalamnya. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan sistem pendidikan persekolahan, tugas guru di kelaslah yang menjadi sorotan paling utama. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran dijadikan ukuran dalam menentukan profesional tidaknya seorang guru. Sekaitan dengan hal di atas, H. Douglas Brown dalam bukunya Teaching by Principles memadukan pengetahuan menjadi sesuatu yang praktis dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Meskipun demikian, Tinjauan bab ini akan mengadaptasi pendekatan yang digun

BAHASA INDONESIA DALAM URAIAN FILSAFAT: VERIFIKASI DAN FALSIFIKASI SEBAGAI SEBUAH ILMU

A. Purwawacana Dalam kehidupan sehari-hari bahasa dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia sebagai makhluk Allah, yang berbeda dengan makhluk lainnya, memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan mengembangkan akal budi. Ketika berpikir dan mengembangkan akal budi itulah manusia menggunakan bahasa. Bagi manusia, bahasa merupakan alat dan cara berpikir. Manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa. Di samping itu, sebagai makhluk sosial manusia membentuk komunitasnya denganmenggunakan bahasa. Bahasa dijadikannya alat atau sarana untuk berkomunikasi antar sesama manusia: menyampaikan keinginan, pikiran, ataupun perasaannya (baik ketika bekerja sama ataupun mengidentifikasikan diri). Oleh karena itu, bahasa dapat diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Menurut Adiwijaya (2002:4), Wardhaugh menyebut bahasa sebagai " a system of arbitrary vocal symbols u