INDUKSI, DEDUKSI DAN SILOGISME

A. Purwawacana

Manusia merupakan mahluk yang berakal. Dengan akalnya, manusia berpikir. Proses berpikir biasanya bertolak dari pengamatan indera atau observasi empirik. Proses itu dalam pikiran menghasilkan sejumlah pengertian dan sekaligus keputusan. Berdasarkan pengamatan terhadap objek sejenis, maka pikiranpun akan menetapkan keputusan atau proposisi yang sejenis pula. Itulah yang disebut dengan penalaran. Dengan kalimat lain, penalaran dapat diartikan sebagai proses berpikir tentang sesuatu kebenaran yang telah ada untuk menghasilkan kebenaran yang baru.

Untuk menjelaskan pernyataan di atas, kita dapat mengambil suatu peristiwa sebagai contoh. Orang memanaskan beberapa benda cair. Benda cair pertama dipanaskan, lalu menguap. Benda cair kedua dipanaskan, hasilnya sama yakni menguap. Kita melakukannya terhadap sepuluh macam benda cair, ternyata hasilnya sama: menguap. Jika orang yang mengamati fenomena itu sadar, maka dia akan menduga, benda cair yang lainnya pun jika dipanaskan juga akan menguap. Apa yang terjadi dari proses tersebut, berdasarkan sejumlah proposisi yang sudah diketahui dan dianggap benar, orang pun akan menyimpulkan proposisi baru terhadap sejumlah objek lain yang sejenis yang belum diketahui.

Dalam penalaran, proposisi-proposisi yang menjadi dasar penyimpulan dinamakan antesedens atau premis sedangkan kesimpulannya disebut konsekuens atau konklusi. Di antara premis dan konklusi, ada hubungan tertentu yang lazim disebut konsekuensi.

B. Hakekat Penyimpulan

Penyimpulan merupakan kegiatan manusia yang dari pengetahuan yang telah dimiliki dan berdasarkan pengetahuan itu bergerak ke pengetahuan baru. Kesimpulan yang sungguh-sungguh dapat dan harus diambil premis-premis tertentu disebut kesimpulan yang sah. Kesimpulan yang salah, yang tidak boleh atau tidak dapat diambil dari premis-premis tertentu itu disebut kesimpulan yang tidak sah.

Dalam menyimpulkan, terdapat dua syarat mutlak,yakni;

a) Titik pangkal, yaitu premis-premis harus benar dan tepat.

· Benar : apabila titik tolak pemikiran tidak benar, kesimpulannya juga tidak akan benar.

· Tepat:premis-premis harus menunjukkan dasar mengapa kesimpulan tertentu diambil; jadi harus sungguh-sungguh membuktikan. Kelemahan dari banyak pemikiran ialah tidak menunjukkan alsan yang sebenarnya (tidak benar).

b) Jalan pikiran harus lurus atau logis

Dalam artian harus ada hubungan yang sah antara premis dan kesimpulan. Mungkin terjadi bahwa jalan pikiran sudah sah, namun kesimpulannya tidak benar. Dalam hal ini jalan pikiranlah yang tidak ‘lurus’. Bidang khas logika ialah lurusnya jalan pikiran: Bagaimana kita memiliki jalan pikiran yang lurus dari putusan yang satu sampai pada kesimpulan (putusan yang lain) tanpa melanggar kebenaran.

Penyimpulan pada dasarnya terdiri dari dua jenis penyimpulan, yakni penyimpulan langsung dan penyimpulan tidak langsung.

a) Penyimpulan Langsung

Penyimpulan langsung (immediate inference) merupakan proses menyimpulkan suatu putusan baru (kesimpulan) dengan memakai subjek dan predikat yang sama.

Dalam penyimpulan langsung, terdapat beberapa cara menyimpulkan secara langsung, di antaranya adalah:

1) Ekuivalensi

Jika kita mengerti bawha ‘tak ada orang Belgia yang menjadi jago pencak’, maka secara langsung dapat kita simpulkan bahwa ‘tak ada jago pencak yang berbangsa Belgia’. Kalau ‘A dan B itu tidak sama’, maka dapat juga dikatakan ‘A itu tidak sama dengan B’ atau A≠B. Apabila kita tahu bahwa ‘ada orang pintar yang kurus’. Maka secara langsung dapat dikatakan pula bahwa ada orang kurus yang pintar. Kalau ‘tak ada siswa yang lulus ujian ‘ini mengatakan hal yang persis sama. Kalau putusan ‘ beberapa A itu B’ benar, maka putusan-putusan berikut ini juga benar:


§ Beberapa B = A

§ Beberapa A≠ B

§ Beberapa B ≠ A

§ Ada A yang B

§ Ada A yang bukan B

§ Ada B yang A

§ Ada B yang bukan A

§ Tidak semua A = B

§ Tidak semua B = A

Rumusan – rumusan baru itu disebut Ekuivalen, artinya: mengatakan hal yang persis sama. Putusan-putusan baru itu sebetulnya tidak mengatakan sesuatu yang baru, hanya perumusannya berlainan, tetapi dengan memakai sebjek dan predikat yang sama.

2) Pembalikan

Membalik suatu keputusan berarti menyusun suatu putusan baru, dengan jalan menggantikan subjek dan predikat ( sedemikian rupa hingga yang sebelumnya menjadi subjek sekarang menjadi predikat, dan yang sebelumnya predikat menjadi subjek), dengan tidak mengurangi kebenaran isi putusan itu.

Karena putusan menyatakan suatu kesatuan antara S dan P maka dari kesatuan antara S dan P itu dapatlah diambil kesimpulan mengenai satu kesatuan antara S dan P juga. Akan tetapi beda dengan ilmu pasti yang rumusnya boleh di bolak-balik ( a=b, jadi b=a), subjek dan predikat suatu kalimat tidak selalu dapat dibolak-balik begitu saja.

Contoh:

Pegawai negeri itu bukan pegawai swasta, jadi pegawai swasta itu bukan pegawai negeri. Kalimat ini dapat dibaolak-balik, S dan P dapat ditukar tempatnya, tanpa mengurangi kebenaran ucapan tersebut.

3) Oposisi

Perlawanan atau oposisi terdapat antara dua putusan, yang mempunyai subjek dan predikat yang sama, tetapi berbeda-beda dalam luas dan/atau bentuknya (afirmatif/negative)

Perlawanan atau oposisi memegang peranan yang penting dalam pemikiran sebab apabila antara dua putusan terdapat perlawanan atau oposisi, maka berpangkal dari putusan yang satu dapat kita ambil berbagai kesimpulan tentang benar atau salahnya putusan-putusan ‘lawannya’.

Contoh:

Dalam rapat guru, Pak A mengeluh, “ semua murid itu bodoh!” dan Pak B menyambut, “ memang tak ada yang pandai!” kedua ucapan ini kelihatanya sama… Tetapi Pak C tidak setuju, dan mengatakan, “ Tidak! Tidak semua murid bodoh! Memang ada yang bodoh, tetapi tidak semua: ada juga yang pandai!”

Perlawanan dapat dibedakan menjadi empat macam, yakni:

* Kontradiktoris= Bertentangan

Ialah perlawanan antara dua putusan ( dengan S dan P yang sama) di mana yang satu hanya menyangkal yang lain tanpa menambah suatu pernyataan positif, jadi hanya ‘melawan’ (=kontra) ‘ pernyataan’ (dictum).

Perlawanan ini adalah yang paling kuat. Untuk menjatuhkan suatu pernyataan universal ‘semua S = P’ cukup dengan membuktikan kontradiktorisnya. Misalnya, kalau ada hanya seorang mahasiswa saja yang lulus ujian, maka ucapan ‘semua mahasiswa lulus’ itu sudah salah.

* Kontraris = Berlawanan

Ialah perlawanan yang terddapat antara dua putusan universal ( A dan E) yang mempunyai S dan P yang sama, tetapi berbeda dalam bentuknya ( yang satu afirmatif, yang lain negative).

Putusan-putusan yang berlawanan ini tidak dapat sekaligus bersama-sama, benar, tetapi dapat kedua-duanya salah.

· Kalau yang satu benar, yang lain tentu salah.

· Kalau yang satu salah, yang lain dapat benar, dapat salah.

Jadi, di sini ada kemungkinan ketiga: tidak dapat kedua-duanya benar, tetapi dapat kedua-duanya salah.

* Subkontraris

Ialah perlawanan yang terdapat anatara dua putusan particular ( I dan O) yang mempunyai S dan P yang sama, tetapi berbeda dalam bentuknya ( yang satu afirmatif, yang lain negative)

Dari putusan-putusan ini:

· Kalau yang satu salah, yang lainnya yang benar.

· Kalau yang satu yang benar, yang lain dapat benar, dapat salah.

· Jadi, dapat kedua-duanya benar, tetapi tak dapat kedua-duanya salah. Karena dapat benar, maka perlwanan itu disebut ‘kurang perlawanan’.

* Subalterna= Bawahan

Ialah perlawanan antara dua putusan yang mempunyai S dan P yang sama, tetapi berbeda-beda menurut luasnya: universal dan particular.

Perlawanan macam ini terdapat antara putusan A-I dan E-O. dapat kedua-duanya salah, dapat kedua-duanya benar, dapat juga yang satu benar yang lain salah.

b) Penyimpulan Tidak Langsung

Penyimpulan tidak langsung (mediate inference) adalah upaya menyimpulkan dengan pertimbangan dan analisis sebelum memutuskan Subjek = Predikat. S dan P dari kesimpulan dipersatukan melalui atau dengan perantara term penengah (M). Hal ini dilakukan untuk mencari dasar-dasar atau alasan-alasan mengapa S dan P tertentu kita satukan dalam sebuah putusan.

Dalam penyimpulan tidak langsung, terdapat dua bentuk utama penelaran tidak langsung, yakni induksi dan deduksi.

1) Induksi

Induksi adalah suatu bentuk penalaran yang menyimpulkan suatu proposisi umum dari sejumlah proposisi khusus yang berbentuk ‘S ini adalah P’ (subjek ini adalah predikat)

Induksi mungkin berupa satu proses sederhana, dan seketika itu juga terselenggara melalui suatu pendangan (insight), tetapi mungkin pula berupa suatu proses yang panjang, sangat sukar, dan berlibat-libat, mencakup analisis bertahap (gradual analysis), kecermatan pandangan(insight), proses trial and error sebagaimana apabila ilmuwan terlibat dalam penemuan hukum alam atau dalam masalah ilmiah yang begitu berseluk-beluk seperti masalah-masalah social.

Dalam induksi kesimpulan yang dicapai selalu berupa generalisasi, misalnya:”air kotor menyebabkan penyakit kulit”, ‘bahan kuliah perguruan tinggi setiap minggu harus dipelajari secara lebih dalam daripada bahan pelajaran sekolah menengah’, ‘Sarjana luar negeri lebih bonafid daripada sarjana dalam negeri’. Setiap generalisasi induktif diperoleh sesudah dilakukan pengamatan bahwa beberapa atau banyak kejadian berakir dengan hasil yang sama, maka kemudian si pengamat ‘yakin’ bahwa di waktu yang akan datang, suatu kejadian yang sama juga akan berakhir dengan akhir yang sama juga.

Penalaran induksi berlangsung atas dasar hal-hal khusus yang diamati. Seseorang dapat menyimpulkan suatu generalisasi yang ia pikirkan akan dapat diterapkan pada semua hal-hal yang serupa di saat yang akan datang.

Manakala seseorang sesudah mengamati hal-hal khusus kemudian, membuat suatu generalisasi mengetahui atau tidak mengetahui, ia telah menggunakan induksi. Generalisasi induktifnya mungkin benar, tetapi juga mungkin perlu lebih dicermatkan sehingga tidak menjadi generalisasi ceroboh, misalnya’kebanyakan politikus jahat’atau ‘sarjana luar negeri lebih bonafid daripada sarjana dalam negeri’ sebagaimana tersebut di atas.

Pengetahuan sehari-hari dan ilmu-ilmu positif empiris banyak memerlukan induksi. Tetapi jarang sekali dapat memperoleh induksi yang lengkap. Induksi lengkap diperoleh manakala seluruh kejadian khususnya telah diselidiki dan diamati. Jika kejadian-kejadianya tidak semua diamati, namun sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka diperoleh induksi tidak lengkap. Jenis induksi tidak lengkap inilah yang biasa kita peroleh dan kita jumpai. Alasanya sederhana; keterbatasan manusia.

Penalaran induktif,sesuai dengan sifatnya, tidak memberikan jaminan bagi kebenaran kesimpulannya. Meskipun, misalnya, premis-premisnya semua benar, tidaklah secara otomatis membawa akibat pada kebenaran kesimpulan. Selalu saja mungkin terdapat atau terpikirkan sesuatu yang tidak sama sebagaimana di amati. Di sinilahletak perbedaan antara deduksi dan induksi. Pada deduksi,kesimpulan merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan dapat menjadi benar manakala premis-premisnya benar. Tetapi pada induksi tidak lengkap kesimpulannya dapat menjadi bersifat tidak lebih dari ‘mungkin betul’manakala premis-premisnya benar. Kesimpulan penalaran induktif tidak 100 % pasti.

2) Deduksi

Deduksi adalah mengambil suatu kesimpulan yang hakikatnya sudah tercakup di dalam suatu proposisi atau lebih. Kesimpulan tersebut benar-benar sesuatu yang baru dan muncul sebagai konsekuen dari hubungan-hubungan yang terlihat dalam proposisi-proposisi tadi.

Deduksi jauh lebih sering terjadi dari persangkaan kebanyakan orang. Hampir setiap keputusan adalah deduksi, dan setiap deduksi ditarik ( dideduksikan) dari suatu generalisasi yang berupa generalisasi induktif yang berdasar hal-hal khusus yang diamati, generalisasi induktif yang palsu karena salah tafsir terhadap evidensi (bukti) yang ada ( pandangan orang tentang malaria – udara buruk – di waktu lampau), generalisasi induktif senu ( generalisasi yang menurut banyak orang bertunpu pada pengamatan terhadap hal-hal khusus yang kenyataanya tidak demikian), dan generalisasi noninduktif yang biasanya diambil dari system nilai, budaya sebagaimana asumsi-asumsi di bidang keagamaan, ekonomi, perilaku social,dan lain sebagainya yang sudah meresapi kehidupan orang, seringkali tidak pernah diuji dan dikaji secara kritis.

Manakala penalaran deduktif diambil struktur intinya dan dirumuskan secara singkat, maka dijumpailah bentuk logis pikiran yang disebut syllogisme. Penguasaan atas bentuk logis yang disebut syllogisme ini akan sangat membantu mencermatkan langkah-langkah pikiran sehingga terlihat hubungan-hubungannya sebelum mencapai kesimpulan.

C. Silogisme

Silogisme adalah proses logis yang terdiri dari tiga bagian. Dua bagian pertama merupakan premis-premis atau pangkal tolak penalaran (deduktif) silogistik. Sedangkan bagian ketiga merupakan perumusan hubungan yang terdapat antara kedua bagian pertama melalui pertolongan term penengah (M). bagian ketiga ini disebut juga kesimpulan yang berupa pengetahuan baru (konsekuens). Proses menarik suatu kesimpulan dari premis-premis tersebut disebut penyimpulan.

Suatu premis adalah suatu pernyataan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga pernyataan tadi menegaskan atau menolak bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar. Suatu premis dapat mengatakan suatu fakta, suatu generalisasi, atau sekedar suatu asumsi atau sesuatu yang spesifik.

  1. Silogisme Kategoris

Silogisme kategoris adalah struktur suatu deduksi berupa suatu proses logis yang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing bagiannya berupa pernyataan kategoris (pernyataan tanpa syarat).

Sebagai suatu bentuk logis yang sudah baku, silogisme, khususnya silogisme kategoris,bermakna sekali. Bentuk logis silogisme kategoris dapat menunjukkan jalan atau tahap-tahap penalaran dari pertanyaan “mengapa” karena memperlihatkan alasan-alasan atau dasar suatu pernyataan. Apabila penalarannya tidak lurus maka akan terlihat apa salahnya; titik pangkalnya (premis).

Untuk menganalisis suatu pemikiran, kita harus:

a. menjabarkan putusan-putusan menjadi bentuk S=P

b. merumuskan putusan-putusan, dalil-dalil, atau generalisasi-generalisasi yang tersembunyi sehingga menjadi terlihat dengan jelas dalm bentuk silogisme

· Bentuk-bentuk Silogisme Kategoris

Poespoprodjo (2006: 154) mengemukakan tiga bentuk silogisme (bentuk I, II dan III), sama dengan yang dikemukakan Aristoteles, namun Galen dalam Adiwijaya (2008:61) menambahkannya lagi satu bentuk (bentuk IV). Bentuk silogisme ditentukan oleh kedudukan term menengah dalam hubungannya dengan term-term yang terdapat pada premis-premis. Ada empat kemungkinan kedudukan term menengah dalam dua buah premis, oleh karenanya terdapat pula empat bentuk silogisme.

Bentuk I :

Term penengah (M) merupakan subjek (S) di dalam premis mayor dan menjadi predikat (P) di dalam premis minor.Aturan yang harus dipatuhi adalah premis minor harus berupa penegasan (afirmatif), sedangkan premis mayor bersifat umum (universal).

M - P

Semua mahasiswa SPs UPI mendapat tunjangan

S - M

Robert Ewoy adalah mahasiswa SPs UPI

S - P

Robert Ewoy mendapat tunjangan


Bentuk II :

Term penengah (M) menjadi presikat (P) di dalam premis mayor dan premis minor. Aturan yang harus dipatuhi adalah salah satu premis harus negatif, dan premis mayor bersifat umum (universal).

P - M

Semua manusia bijaksana

S - M

Semua hewan tidak berotak

S - P

Semua hewan bukan manusia

Bentuk III :

Term penengah (M) menjadi subjek (S) di premis mayor dan premis minor. Aturan yang harus dipatuhi adalah premis minor harus berupa penegasan (afirmatif) dan kesimpulannya bersifat partikular

M - P

Semua muslimat berjilbab

M - S

Sebagian muslimat sudah naik haji

S - P

Sebagian yang sudah naik haji berjilbab


Bentuk IV :

Dalam bentuk IV, term penengah adalah P dari premis mayor dan S dari premis minor

P - M

Semua dosen menulis

M - S

Semua yang menulis pandai

S - P

Sebagian yang pandai adalah dosen

· Hukum Silogisme Kategoris

Dalam menyusun suatu silogisme hatruslah diingat aturan-aturan tentang isi dan luas subjek dan predikat agar jalan pikiran itu sah.

a. Term S, P,dan M dalam satu pemikiran harus tetap sama artinya

Dalam silogisme, S dan P dipersatukan atas dasar pembanding masing-masing dengan M; kalau M itu dalam mayor dan minor tidak tepat sama artinya(=kata analogis atau ekuivokal) maka tidak dapat ditarik kesimpulan.

Yang bersinar di langit itu bulan.

Nah, bulan itu 30 hari.

Jadi, 30 hari bersinar di langit.

b. Kalau S dan P dalam premis particular, maka dalam kesimpulan tidak boleh universal

Sebabnya ialah kita tidak boleh menarik kesimpulan mengenai semua jika premis hanya memberi keterangan beberapa.

Semua mahasiswa SPs UPI harus pandai memegang buku.

Nah, Enok Nokia bukan mahasiswa SPs UPI.

Jadi, ia tidak perlu pandai memegang buku.

c. Term M harus sekurang-kurangnya satu kali universal

Dalam kalimat afirmatif P adalah particular. Jika M dua kali particular, ia mungkin menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya, sehingga tak dapat berfungsi sebagai (M)

Enok Nokia itu perempuan.

Olla Motorola itu perempuan.

Jadi Enok Nokia itu Olla Motorola.

Dari contoh di atas dapat dijelaskan bahwa dari kesamaan dalam satu atau lebih sifat belumlah boleh diambil kesimpulan bawa barang yang hampir sama itu sama.

d. Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling ‘lemah’

Jika kalimat universal dibandingkan dengan kalimat particular, makayang particular disebut yang lemah. Begitu pula kelimat negative itu lebih lemah disbanding dengan kalimat afirmatif.

Cerita yang cabul tidak baik untuk mendidik anak.

Nah, banyak cerita-cerita Panji yang cabul.

Jadi, cerita-cerita dari Panji tidak baik untuk mendidik anak.

· Silogisme Majemuk

Silogisme dapat diperluas menjadi suatu rangkaian dengan memakai lebih dari satu M. maka dari itu terdapat silogisme majemuk.

Orang yang tidak mengendalikan keinginan-keinginannya akan menginginkan seribu satu barang.

Orang yang menginginkan seribu satu barang itu kebutuhannya banyak sekali.

Orang yang banyak sekali kebutuhannya itu tidak tenteram hatinya.

Jadi, orang yang tidak mengendalikan keinginan-keinginannya itu hatinya tidak akan tenteram.

2. Silogisme Hipotesis

· Silogisme Kondisional

Silogisme kondisional (bersyarat) ialah silogisme yang premis mayornya berupa keputusan kondisional.

Keputusan kondisional adalah keputusan yang mengandung suatu syarat, yaitu terdiri dari dua bagian, yang satu dinyatakan benar jika syarat yang dinyatakan dalam bagian lain dipenuhi. Misalnya, “Jika hujan turun, maka jalanan menjadi basah.”

Bagian putusan kondisional yang mengandung syarat disebut antecendens. Bagian yang mengandung apa yang dikondisikan disebut konsekuens. Hubungan antara antecendens dan konsekuens adalah inti putusan kondisional (menentukan benar tidaknya putusan itu).

Hukum-hukum silogisme kondisional:

a. kalau antecedens benar (dan hubungannya sah) maka kesimpulan akan benar

b. kalau kesimpulan salah (dan hubungannya sah), maka antecedens salah pula

Berdasarkan hokum-hukum ini, maka dapat disusun bagan silogisme kondisional:


1. Jika berjalan, maka akan kesiangan

Nah, ia berjalan

Jadi ia kesiangan

2. Jika bis datang tepat waktu, maka akan cepat sampai

Nah, bis datang tidak tepat waktu

Maka tidak akan cepat sampai


· Silogisme Disjunktif

Silogisme disjunktif ialah silogisme yang premis mayornya terdiri dari keputusan disjunktif. Premis minor menyatakan atau memungkiri salah satu dari kemungkinan yang disebut dalam mayor. Kesimpulan mengandung kemungkinan yang lain.

Keputusan disjunktif ialah keputusan yang didalamnya terkandung suatu pilihan antara dua (atau lebih) kemungkinan (menunjukkan apa yang disebut alternatif, dinyatakan dalam kalimat atau…atau…)

Disjunktif dibedakan atas:

a. disjunktif dalam arti sempit (arti sebenarnya)

Hanya mengandung dua kemungkinan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak dapat bersama-sama benar, dtidak ada kemungkinan ketiga. Jadi, dari dua kemungkinan yang disebut hanya terdapat satu yang benar.

Hasil dari ujian ialah lulus atau tidak lulus.”

Doni masuk atau tinggal di luar.

Nah, ia masuk.

Jadi tidak tinggal di luar.

b. disjunktif dalam arti luas

juga mengemukakan pilihan antara dua kemungkinan A atau B, tetapi kemungkinan tersebut dapat juga sama-sama benar, atau ada kemungkinan ketiga. Jadi, satu kemungkinan benar, yang lain mungkin benar juga sebab dikombinasikan.

Penduduk dunia dibagi menjadi kapitalis, sosialis dan liberalis.

Nah, ia tidak kapitalis karena ….

Nah, ia tidak liberalis karena …

Jadi ia sosialis.

· Dilema

Dilemma adalah semacam pembuktian, yang di dalamnya terdiri dari dua atau lebih putusan disjunktif untuk ditarik kesimpulan yang sama; atau dibuktikan bahwa dari masing-masing kemungkinan harus ditarik kesimpulan yang tidak dikehendaki.

Dilemma merupakan suatu kombinasi dari barbagai bentuk silogisme. Mayor terdiri dari sebuah putusan disjunktif. Dalam minor diambil kesimpulan yang sama dari kedua alternative. Dalam dilemma, kita harus memilih antara dua kemungkinan yang kedua-duanya mempunya konsekuensi yang tidak enak, hingga pilihan menjadi sukar. Bentuk pokok dilemma adalah sebagai berikut:


Mati sekarang atau tidak mati,

Nah, kalau mati sekarang, maka akan dikubur.

Kalau tidak mati sekarang, toh nanti akan dikubur.

Jadi kapanpun akan dikubur.

Hukum-hukum dilemma

1) putusan disjunktif harus lengkap, menyebut semua kemungkinan

2) konsekuensinya harus sah

3) kesimpulan lain tidak mungkin (tak beleh diretorsi atau dibalik)

Kalau dilemma disusun menurut hokum-hukumnya, maka merupakan cara pembuktian yang sangat tajam. Untuk menjawab sebuah dilemma, selidikilah apakah hokum-hukum itu sungguh ditaati. Carilah apakan adakemungkinan lain atau ketiga. Jika dari putusan disjunktif yang sama dapat ditarik kesimpulan yang kebalikan, maka ini disebut retorsi.

Pustaka Acuan

Adiwijaya, O.M. (2002). Logika (Panduan ke Arah Berpikir Logis dan Sistematis). Bandung: FKIP Uninus

Poespoprodjo, W dan EK. T. Gilarso. (1999). Logika (Ilmu Menalar). Bandung: Pustaka Grafika

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP DASAR SASTRA

FONETIK DAN ALAT UCAP