PENGAJARAN BAHASA BERDASARKAN USIA PEMBELAJAR

Purwawacana

Guru memegang kedudukan dan peran yang sangat sentral dalam sistem pendidikan persekolahan. Ia merupakan arsitek bagi terjadinya proses belajar mengajar. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika kegagalan dan keberhasilan pendidikan akan terlontar ke pundak guru, sebagai penyebab utama. Guru pun akan dicaci dan dipuji.

Tugas guru sebenarnya tidak terbatas pada ruang segi empat yang bernama kelas dengan sekelompok “anak-anak” di dalamnya. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan sistem pendidikan persekolahan, tugas guru di kelaslah yang menjadi sorotan paling utama. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran dijadikan ukuran dalam menentukan profesional tidaknya seorang guru.

Sekaitan dengan hal di atas, H. Douglas Brown dalam bukunya Teaching by Principles memadukan pengetahuan menjadi sesuatu yang praktis dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing.


Pengajaran Bahasa Indonesia Berdasarkan Usia Pembelajar

Brown (1994) membagi usia pembelajar bahasa kedua atau bahasa asing ke dalam tiga kelompok umur, yakni anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Ia menyebutkan bahwa perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa adalah masa pubertas, sedangkan kelompok remaja ia kategorikan sebagai masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.

Pengajaran pada Anak-anak

Pada dasarnya, anak-anak mempelajari bahasa kedua (dalam Brown hal ini bahasa Inggris) dengan cara yang tidak disadari oleh si pembelajar. Latihan berbahasa yang dilakukan oleh anak-anak akan lebih melekat baik itu secara kognitif maupun afektif sehingga akan lebih mudah menguasai bahasa kedua seperti halnya menguasai bahasa pertamanya. Perbedaan antara anak-anak dan dewasa (selain masa pubertas) adalah mereka lebih spontan terhadap bahasa. Sedangkan dewasa, lebih berhati-hati dan lebih memperhatikan terhadap bentuk bahasa.

Orang dewasa pada dasarnya mampu mempelajari kosakata yang lebih luas dari pada anak-anak. Mereka dapat memanfaatkan teknik deduksi dalam mempelajari struktur bahasa dan konsep kebahasaan lainnya. Dalam pembelajaran di dalam kelas, kemampuan intelektual orang dewasa akan sangat membantu dalam mempelajari bahasa dibandingkan dengan anak-anak. Jadi, anak-anak sesungguhnya memiliki kesulitan dalam mempelajari bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa.

Pengajaran bahasa kepada anak usia sekolah, sesungguhnya memerlukan kemampuan yang khusus serta intuisi sehingga berbeda dengan pengajaran terhadap orang dewasa.

a. Pengembangan Intelektual

· Jangan menjelaskan aturan tata bahasa dengan menggunakan istilah-istilah seperti present progressive atau relative clause. Menjelaskan aturan tata bahasa bukanlah cara yang tepat dalam mengajari anak tentang bahasa (khususnya bahasa kedua).

· Aturan-aturan yang dinyatakan dalam istilah-istilah yang abstrak perlu dihindari

· Beberapa konsep tata bahasa, khususnya yang berada di atas level materi kelompok anak-anak, dapat mulai diperkenalkan dengan menunjukkan pola-pola tertentu dan juga melalui pemberian contoh.

· Konsep-konsep atau pola-pola tertentu yang lebih sulit memerlukan lebih banyak pengulangan dibanding pada saat mengajar orang dewasa, namun tanpa membuat siswa merasa bosan.

b. Rentang Perhatian yang Lebih

Rentang perhatian merupakan perbedaan yang paling mendasar antara anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak akan menunjukan rentang perhatian yang rendah (short attention span) pada saat mereka berhadapan dengan hal-hal yang menurut mereka membosankan, tidak berguna, dan terlalu sulit.

Beberapa cara yang dapat dilakukan di antaranya dengan merancang beragam aktivitas kelas agar dapat memenuhi minat anak akan konsep “di sini dan sekarang”, berupaya untuk beranimasi guna menghidupkan suasana, menunjukan antusiasme terhadap materi yang akan disampaikan, memiliki selera humor yang baik, serta berusaha untuk memuaskan rasa keingintahuan siswa.

c. Input Sensorik (Penginderaan)

  • Sertakan aktivitas fisik dalam pengajaran, seperti bermain peran atau melakukan permainan.
  • Memberikan proyek-proyek atau aktifitas yang dapat membantu siswa menginternalisasikan bahasa, seperti proyek ilmiah yang dilakukan dalam kelompok kecil.
  • Bantuan sensorik dapat membantu siswa dalam menginternalisasikan konsep, seperti wangi bunga, permukaan tanaman dan buah-buahan, rasa makanan, serta bantuan-bantuan audio visual lainnya seperti video, gambar, dan musik.
  • Bahasa nonverbal seorang pengajar berperan penting, dikarenakan anak-anak juga sensitif terhadap mimik dan gestik

d. Faktor-faktor Afektif

Anak-anak memang bersifat inovatif dalam pembelajaran bahasa, namun mereka juga masih menemukan hambatan dalam proses tersebut. Dibandingkan orang dewasa, anak-anak biasanya lebih sensitif terhadap rekan seusia mereka. Hal ini dikarenakan ego mereka masih dibentuk , sehingga cara penyampaian tertentu dapat diartikan negatif. Tugas seorang pengajar untuk membantu siswa menghalau rintangan-rintangan tersebut, misalnya dengan bersikap sabar dan suportif dalam membangun self-esteem siswa, dan sebisa mungkin menggali partisipasi oral dari para siswa, terutama siswa yang pendiam.

e. Keotentikan dan Kebermaknaan

· Anak-anak memiliki kemampuan yang baik dalam mengindera bahasa yang otentik, karenanya bahasa yang berada di luar jangkauan mereka akan ditolak.

· Bahasa harus diajarkan terikat dengan konteks, karena bahasa yang memiliki kalimat abstrak, terisolasi, dan tak berhubungan tidak dapat diingat dengan mudah oleh anak-anak.

· Pendekatan bahasa secara keseluruhan (a whole language approach) sangat penting agar anak-anak dapat melihat hubungan secara keseluruhan.

Pengajaran pada Orang Dewasa

Banyak cara mengajar yang biasa digunakan kepada anak-anak yang dapat digunakan pula kepada orang dewasa. Meskipun demikian, terdapat pula perbedaan cara menggunakannya di dalam kelas. Kita ketahui bahwa orang dewasa memiliki kemampuan kognitif dalam menyaring sesuai dengan pemikirannya. Untuk itu, diperlukan pertimbangan terhadap kelima variabel yang digunakan dalam mengajar kepada anak-anak.

· Orang dewasa lebih mampu menangani aturan-aturan dan konsep-konsep abstrak. Namun, terlalu banyak generalisasi abstrak mengenai penggunaan, serta kurangnya bahasa yang nyata juga dapat mematikan bagi orang dewasa.

· Orang dewasa memiliki rentang perhatian yang lebih tinggi meskipun saat mereka menghadapi hal yang secara intrinsik tidak mereka sukai. Namun, usaha untuk tetap menjaga aktivitas kelas agar menyenangkan perlu juga dilaksanakan pada saat mengajar orang dewasa.

· Input sensori pada orang dewasa tidak harus selalu beragam, akan tetapi, salah satu rahasia dari kelas orang dewasa yang hidup adalah seruan mereka akan beragam indera (multiple sense).

· Orang dewasa sering kali membawa self-esteem global ke dalam ruang kelas, sehingga kerapuhan ego tidaklah sekritis pada anak-anak.

· Orang dewasa dengan kemampuan berpikir abstrak yang lebih berkembang lebih mampu memahami sebuah segmen bahasa yang tidak terikat konteks.

Berikut merupakan implikasi yang dapat ditarik dari pengetahuan kita mengenai perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa. Aturan ini disebut dengan aturan “ya dan tidak” (management do’s and don’ts):

· Meskipun orang dewasa tidak dapat mengungkapkan pemikiran yang kompleks dengan menggunakan bahasa yang baru, namun mereka memiliki intelegensi serta kematangan kognitif dan emosional.

· Jangan memperlakukan orang dewasa di kelas seperti anak-anak misalnya dengan memanggil mereka anak-anak, menggunakan gaya bicara seperti yang dipergunakan oleh orang tua pada anaknya, dan dengan berbicara keras agar mereka diam.

· Sebanyak mungkin berilah kesempatan pada siswa kita untuk memilih apa yang ingin mereka lakukan di luar dan di dalam kelas (cooperative learning).

· Jangan mendisiplinkan orang dewasa dengan menggunakan cara yang sama yang digunakan untuk mendisiplinkan anak-anak.


Pengajaran pada Remaja

Remaja merupakan usia transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa, sebuah masa yang merupakan tantangan bagi para pengajar. Berikut beberapa pertimbangan dalam mengajar kelompok remaja berdasarkan lima variabel yang telah dibahas sebelumnya:

· Pada usia 12 tahun, kapasitas intelektual diperkaya juga dengan kemampuan berpikir operasional, sehingga persoalan yang kompleks dapat diselesaikan dengan pemikiran logis, sehingga secara teoretis, materi linguistik yang bersifat metabahasa sudah dapat diberikan.

· Rentang perhatian semakin bertambah sebagai akibat dari kematangan intelektual, namun dengan banyaknya diversi dalam kehidupan remaja, maka rentang ini dapat kembali berkurang dengan mudah.

· Variasi input sensorik masih penting, namun meningkatnya kemampuan abstraksi akan mengurangi esensi alamiah dari kelima indera.

· Faktor-faktor seperti ego, imej diri, dan self-esteem, berada di puncak. Remaja menjadi sangat sensitif akan perspektif orang lain mengenai perubahan dirinya baik secara fisik maupun emosional, sehingga seorang pengajar harus mampu menjaga self-esteem mereka di antaranya dengan menghindari mempermalukan siswa, menghargai bakat dan kekuatan setiap siswa, mentolerir kesalahan dan kekeliruan, mengurangi kompetisi antarteman sekelas, dan mendorong terjalinnya kerja sama dalam kelompok kecil.

· Siswa kelas menengah tentunya lebih menyerupai orang dewasa dalam kemampuan mereka mengubah diversi keadaan dari konteks di sini dan sekarang menjadi konteks komunikatif dalam membahas aturan tata bahasa atau menerapkan kosakata.

”Pandangan Lain tentang Teaching Across Age Levels

Brown membatasi umur menjadi tiga kelompok. Secara tidak langsung, pengelompokkan umur tersebut diklasifikasikan berikut: (1) anak-anak (kurang dari 12 tahun); (2) orang dewasa (18 tahun ke atas); dan (3) remaja (antara 12 – 18 tahun). Berbeda dengan Erikson yang mengelompokkan tahap perkembangan berdasarkan usia dengan membagi menjadi delapan kelompok. Berikut ini adalah kedelapan kelompok yang dikemukakan Erikson.

Tahap

Usia

Keterangan

Kekuatan

Oral Sensori

0 – 1

Percaya vs tidak percaya

Harapan

Otot - Anal

1 – 3

Otonomi vs ragu-ragu

Kemauan

Locomotor Genital

3 – 5

Inisiatif vs kesalahan

Tujuan

Laten

6 – 11

Ketekunan vs rendah diri

Kemampuan

Remaja

12 – 18

Identitas terpadu vs peran yang kacau

Kesetiaan

Pemuda

18 – 35

Keakraban vs isolasi

Cinta

Dewasa

35 – 55

Generative vs stagnasi

Perawatan

Usia Tua

55+

Integritas ego vs putus asa

Kebijakan

Meskipun pembagian kelompok usia menurut Brown dan Erikson berbeda, namun pada dasarnya kekuatan dan karakteristik tiap kelompok usia menjadi pertimbangan utama dalam menentukan langkah dalam pembelajaran. Pembagian berdasarkan kelompok usia seperti di atas penting untuk dilakukan dan perlu untuk diperhatikan oleh pengajar agar dapat memilih metode maupun teknik pengajaran yang tepat, karena mengajar kelas anak-anak tidak sama dengan mengajar kelas dewasa, atau kelas remaja, begitu pun sebaliknya.

Menurut Erikson (1963), perkembangan kepribadian seseorang dengan titik berat pada perkembangan psikososial tahapan 0-1 tahun berada pada tahapan oral sensorik dengan krisis emosi antara trust vs mistrust, tahapan 3-6 tahun mereka berada dalam tahapan dengan krisis autonomy vs shame and doubt (2-3 tahun), initiative vs guilt (4-5 tahun) dan tahap usia 6-11 tahun mengalami krisis industry vs inferiority. Hal ini mengakibatkan pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing, anak-anak unggul dalam penguasaan pelafalan serta intonasi. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut mereka jauh memiliki kespontanan dan tidak takut untuk melakukan kesalahan. Sebaliknya orang dewasa cenderung untuk mengucapkan maupun memilih kata demi kata secara hati-hati untuk menghindari kesalahan. Keunggulan anak-anak disebabkan mereka mempelajari bahasa tersebut seolah-olah sambil bermain, yakni tidak ada kepentingan formal apa pun sehingga dalam waktu yang singkat, dari segi intonasi dan pelafalan, mereka dapat bertutur seperti seorang penutur asli.

Pengajar perlu memperhatikan bahwa anak-anak (hingga usia 11 tahun) masih berada dalam fase perkembangan yang disebut oleh Piaget (dalam Sagala, 2003:25) dengan masa operasi konkret (concrete operation), sehingga aturan-aturan, penjelasan, serta pembicaraan lainnya mengenai bahasa yang bersifat abstrak haruslah diberikan dengan sangat hati-hati. Anak-anak sangat berpusat pada konteks di sini dan sekarang (here and now), yakni memperhatikan tujuan bahasa secara fungsional. Mereka tidak seperti orang dewasa yang sangat memperhatikan ketepatan (correctness), dan mereka juga belum mampu untuk memahami metabahasa yang dipakai oleh orang dewasa dalam menggambarkan dan menjelaskan konsep linguistik.

Dalam konteks pembelajaran di ruang kelas, Brown (1994) mengemukakan bahwa kelompok dewasa lebih unggul dibanding kelompok anak-anak dan remaja. Hal ini dikarenakan orang dewasa memiliki rentang perhatian (attention span) yang lebih tinggi dibanding kedua kelompok lainnya. Anak-anak memiliki rentang perhatian yang rendah, dan hal ini akan tampak pada saat mereka harus berhadapan dengan hal-hal yang menurut mereka membosankan, tidak berguna, ataupun terlalu sulit, misalnya dalam konteks belajar di ruang kelas yang menuntut mereka untuk “serius” dalam durasi yang cukup lama.

Dibandingkan dengan anak-anak, remaja memiliki rentang perhatian yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan bertambahnya usia mereka menuju usia dewasa, namun rentang perhatian ini bisa kembali berkurang karena sangat dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang dialami oleh remaja dalam kehidupannya, seperti yang dikemukakan oleh Brown.

Pengaruh pergaulan dalam masyarakat (teman sebaya) terhadap remaja terkadang cukup menonjol, sehingga bahasa remaja menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di dalam kelompok sebaya, tidak terkebuali bahasa asing. Perkembangan bahasa remaja dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal. Hal ini berarti bahwa proses pembentukan kepribadian yang dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat sekitar akan memberi ciri khusus dalam perilaku berbahasa.

Masa remaja, terutama remaja awal merupakan masa terbaik untuk mengenal dan mendalami bahasa asing. Namun dikarenakan keterbatasan kesempatan dan sarana dan pra sarana, menyebabkan si remaja kesulitan untuk menguasai bahasa asing. Tidak bisa dipungkiri, dalam era globalisasi sekarang ini, penguasaan bahasa asing merupakan hal yang penting untuk menunjang kesuksesan hidup dan karier seseorang. Namun dengan adanya hambatan dalam pengembangan ketidakmampuan berbahasa asing tentunya akan sedikit-banyak berpengaruh terhadap kesuksesan hidup dan kariernya. Terhambatnya perkembangan kognitif dan bahasa dapat berakibat pula pada aspek emosional, sosial, dan aspek-aspek perilaku dan kepribadian lainnya.

Jika anak-anak unggul dalam bidang fonologi, yakni dalam hal pelafalan dan intonasi, maka orang dewasa jauh lebih unggul dalam bidang morfologi dan sintaksis, yakni dalam hal cakupan kosakata yang dikuasainya serta penguasaan mereka akan aturan dan konsep yang abstrak, yakni konsep yang tidak terikat dengan konteks di sini dan sekarang. Hal ini dikarenakan orang dewasa memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok dewasa lebih memusatkan perhatian pada aspek morfologi dan sintaksis, sehingga cenderung mengabaikan aspek fonologi. Hal inilah yang menyebabkan orang dewasa tidak seunggul anak-anak dalam hal pelafalan dan intonasi. Sebaliknya berdasarkan tingkat kognitifnya, kita tidak dapat mengajarkan tata bahasa kepada anak-anak disertai dengan istilah linguistiknya, karena anak-anak lebih mudah mempelajari bahasa yang konkret, yakni pelajaran bahasa menganut prinsip “di sini dan sekarang”, bukan materi yang bersifat metabahasa.

Pada pembelajaran di dalam kelas, khususnya bagi kelompok anak-anak, situasi kelas atau situasi pembelajaran memiliki peran yang sangat penting. Melalui bantuan mimik atau gestik dari pengajar, serta banyaknya pengulangan yang diberikan, mempermudah mereka dalam memahami materi yang disampaikan. Prinsip ini tentunya dapat pula diterapkan dalam pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua bagi kelompok dewasa dengan situasi pembelajaran yang pada umumnya terkesan lebih kompleks dan sulit dibanding anak-anak, sehingga kelompok dewasa juga dapat memahami materi yang disampaikan dengan lebih mudah.

Penggunaan gestik dan mimik merupakan hal yang memang harus dilakukan dalam sebuah pengajaran bahasa asing yang baik. Jika hal ini dilakukan maka kelompok dewasa bisa lebih mengambil manfaat dibanding kelompok anak-anak. Namun tentunya hal ini haruslah diberikan dengan porsi yang tepat, yakni tanpa sepenuhnya memperlakukan kelompok dewasa seperti anak-anak.

Selain keunggulan dalam hal fonologi, kelompok anak-anak masih memiliki keunggulan dibanding kelompok usia lainnya dalam hal yang juga penting dalam pemerolehan bahasa, yakni waktu.

Seorang pembelajar harus memiliki banyak waktu untuk melakukan kontak bahasa, dan untuk menerapkan bahasa asing yang dipelajarinya dalam berbagai situasi. Kelompok remaja dan dewasa memang dapat dengan mudah memenuhi kriteria ini, namun tidak memiliki waktu dan energi sebanyak anak-anak untuk melakukannya. Akan tetapi dengan kemajuan teknologi, kelompok remaja memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mempraktikan bahasa asing yang dipelajarinya dalam berbagai konteks, bahkan langsung dengan penutur aslinya. Diantaranya melalui situs pertemanan yang memungkinkan pembelajar, khususnya bagi remaja yang memiliki waktu luang yang lebih banyak dari orang dewasa dan memiliki kontak yang lebih banyak dengan dunia maya dibanding dengan anak-anak, untuk mencari teman yang merupakan penutur asli dari bahasa asing yang sedang dipelajarinya dan kemudian mempraktikannya.

Purwawacana

Pengajaran bahasa, khususnya pengajaran bahasa asing, dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik yang berasal dari pengajar maupun pembelajar. Dalam Mengajarkan bahasa, seorang pengajar tidak hanya cukup memiliki pengetahuan kebahasaan yang baik saja, namun juga harus memperhatikan variabel lain di luar dirinya, yakni variabel pembelajar.

Variabel-variabel yang dimaksud adalah dengan mempertimbangkan siapa siswa kita, dimana pembelajaran berlangsung, serta alasan apa yang mendorong mereka mempelajari bahasa ini. Variabel-variabel ini penting untuk diperhatikan oleh para pengajar, karena mempengaruhi teknik pengajaran yang akan dipergunakan.

Brown membagi tiga kelompok usia pembelajar, yakni kelompok anak-anak (children), dewasa (adults), dan remaja (teens). Ketiga kelompok usia ini tentunya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dalam konteks pengajaran bahasa. Hal ini penting untuk sebagai bahan pertimbangan dalam memilih pendekatan mengajar dan materi atau bahan ajar yang akan digunakan.

Anak-anak, remaja, maupun dewasa memiliki keunggulan maupun hambatan masing-masing dalam perolehan bahasa kedua. Spontanitas yang dimiliki oleh anak-anak membuat mereka unggul dibanding kelompok usia lainnya dalam pelafalan atau intonasi. Dalam konteks pembelajaran di dalam kelas, kelompok dewasa lebih unggul dari kelompok anak-anak dan remaja. Hal ini dikarenakan mereka memiliki rentang perhatian (attention span) yang tertinggi dibanding kedua kelompok usia lainnya, kelompok usia anak-anak memiliki rentang perhatian terendah, sedangkan remaja yang merupakan masa transisi memiliki rentang yang lebih tinggi dibanding anak-anak, namun masih labil.

Keunggulan lainnya dari kelompok dewasa dalam hal pemerolehan bahasa kedua adalah kemampuan kognitif mereka yang memungkinkan mereka untuk menguasai konsep dan aturan yang abstrak. Dengan kata lain menguasai aspek morfologis dan sintaksis bahasa, seperti penguasaan kosakata dan tata bahasa beserta istilah-istilahnya.

Situasi pembelajaran, khususnya di dalam kelas, juga menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran bahasa asing. Prinsip belajar yang “menyenangkan” yang dipergunakan dalam mengajar kelompok anak-anak, yakni dengan mempergunakan bantuan mimik maupun gestik, dapat pula diterapkan pada saat mengajarkan bahasa asing pada kelompok dewasa. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kelompok dewasa dalam memahami materi yang disampaikan.

Pustaka Rujukan

Brown, H.D. (1994). Teaching by Principles: an Interactive Approach to Language Pedagogy. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Regents

Erikson, E. (1963). Childhood and Society. New York: Norton

Patmonodewo, S. (1995). Pendidikan Anak Prasekolah. Rhineka Cipta: Bandung

Purwanto, M.N. (2004). Psikologi Pendidikan. Rosda Karya: Bandung

Sagala, S. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta: Bandung

Komentar

  1. Pardon me, I want to ask you about your opinion or your experiences about teaching teens that related to the 5 categories bellow: Thanks before…
    1. Intellectual Development
    2. Attention Span
    3. Sensory Input
    4. Affective factors
    5. Authentic, Meaningful Learning

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP DASAR SASTRA

FONETIK DAN ALAT UCAP

INDUKSI, DEDUKSI DAN SILOGISME