BAHASA INDONESIA DALAM URAIAN FILSAFAT: VERIFIKASI DAN FALSIFIKASI SEBAGAI SEBUAH ILMU

A. Purwawacana
Dalam kehidupan sehari-hari bahasa dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia sebagai makhluk Allah, yang berbeda dengan makhluk lainnya, memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan mengembangkan akal budi. Ketika berpikir dan mengembangkan akal budi itulah manusia menggunakan bahasa. Bagi manusia, bahasa merupakan alat dan cara berpikir. Manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa. Di samping itu, sebagai makhluk sosial manusia membentuk komunitasnya denganmenggunakan bahasa. Bahasa dijadikannya alat atau sarana untuk berkomunikasi antar sesama manusia: menyampaikan keinginan, pikiran, ataupun perasaannya (baik ketika bekerja sama ataupun mengidentifikasikan diri). Oleh karena itu, bahasa dapat diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.

Menurut Adiwijaya (2002:4), Wardhaugh menyebut bahasa sebagai "a system of arbitrary vocal symbols used for human communication". Sedangkan Keraf (1984:16) menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Sekaitan dengan pengertian bahasa yang dipaparkan di atas, kita dapat memandang bahasa dari dua sudut pandang, yakni : 1) sebagai satu bentuk tingkah laku manusia, artinya dalam aktivitasnya sehari-hari mulai bangun tidur sampai tidur kembali manusia tidak terlepas dari bahasa; dan 2) sebagai sarana, artinya bahasa digunakan manusia sebagai sarana untuk saling berkomunikasi. Dengan demikian, setiap bahasa memiliki karakteristik.

Sebagai satu bentuk tingkah laku manusia dan sebagai sarana untuk saling berkomunikasi, tentunya akan muncul pertanyaan “Apakah bahasa ini sebuah ilmu? Untuk mengetahui bahasa sebagai ilmu, tentunya diperluakan sebuah verifikasi (pengukuhan) secara ilmiah (empirik dan logis). Salah satu bentuk verifikasi, kita dapat menggunakan teori Thomas Samuel Kuhn tentang paradigma sebuah ilmu. Dalam verifikasinya, Kuhn menyatakan bahwa pada awalnya ilmu muncul karena adanya kumpulan pengetahuan yang diakui kesahihannya. Hal ini meskipun tidak diawali oleh metode ilmiah tetap dapat dikatakan sebagai normal science. Untuk lebih jelasnya verifikasi ini akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.

B. Verifikasi Bahasa Indonesia sebagai Sebuah Ilmu
Bangsa Indonesia memproklamirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan seperti yang telah diikrarkan 28 Oktober 1928. Dengan Sumpah Pemuda, bangsa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia menjadi simbol nasionalisme yang memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa.

Secara kesejarahan, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dirujuk dari rumpun Melayu. Pada perkembangannya, bahasa daerah maupun asing turut mewarnai perkembangan bahasa nasional kita. Gagasan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) muncul dari pemikiran para pemuda Indonesia. Gagasan itu didasari oleh kondisi bangsa yang tidak mampu bersatu karena perbedaan bahasa yang dimiliki. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, dirasakan membutuhkan suatu media yang diharapkan menjadi pemersatu bangsa. Bahasa Melayu (Indonesia) dipilih karena memiliki ikatan solidaritas yang kuat antarsesama bumiputra di seluruh gugus nusantara. Bahasa ini juga hidup sebagai alat komunikasi utama di kalangan keturunan Arab, Tionghoa, dan Indo Eropa, serta berfungsi sebagai tali penghubung perdagangan. Inilah bahasa yang digunakan sebagai bahasa komunikasi harian (parole) di kalangan terpelajar, baik yang Melayu, Sunda, Ambon, Celebes, atau Jawa, sebagai bahasa perjuangan dalam pamflet dan surat kabar.

Konon pihak kolonial Belanda merasa terancam dengan makin meluasnya penggunaan bahasa Melayu sebagai alat propaganda perjuangan kemerdekaan dan anti bangsa kulit putih. Setelah bahasa Melayu tinggi dimodifikasi tata bahasanya oleh CA van Ophuijsen, bahasa Melayu pun makin terangkat derajatnya sebagai bahasa dalam pengertian language/ langue sehingga transfer pengetahuan mau tak mau menggunakan bahasa ini.

Pada masa Orde Baru, bahasa Indonesia sebagai lingua franca itu terinfeksi virus, baik secara tata bahasa maupun muatan makna yang terbentuk di dalamnya. Jika sebelumnya penjagaan terhadap bahasa Indonesia dilakukan dengan klasifikasi antara bahasa yang benar (Balai Pustaka), yaitu bahasa Melayu tinggi, dan bahasa Melayu rendah/bahasa harian (bahasa persuratkabaran dan percakapan yang tak ada ukuran baku), di rezim Orde Baru, bahasa pasaran “naik tingkat” dan menggusur konsep bahasa Melayu yang benar itu. Akhir kata, bahasa Indonesia yang menjadi identitas kebangsaan sejak 1928 bergeser ke dalam hegemoni bahasa Jawa secara struktur dan makna (Fasya, 2003).

Bahasa Indonesia sebagai Normal Science
Sebagai normal science, bahasa tentunya memiliki karakteristik. Pemerian tentang karakteristik bahasa ini secara rinci terdapat di bawah ini.

Pertama, bahasa adalah sebuah sistem. Artinya bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara acak dan tidak beraturan. Sebagai sebuah sistem, unsur-unsur bahasa diatur seperti pola-pola yang berulang. Jika ada salah satu unsur bahasa yang terlihat maka dapat dibayangkan keseluruhannya. Sebagai contoh, jika kita melihat sebuah kalimat tidak lengkap: Setiap pagi ayah mem……. koran, maka dengan cepat kita dapat melengkapi kalimat itu menjadi kalimat yang sempurna. Dengan karakteristik yang pertama ini dapat dikatakan pula bahwa bahasa memiliki sifat sistematis dan sistemis. Yang dimaksud sistematis adalah bahwa bahasa itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan sementara itu yang dimaksud dengan sistemis adalah bahwa bahasa itu terdiri atas subsistem-subsistem bahasa, yakni fonologi, gramatika dan leksikon.

Kedua, bahasa adalah sebuah sistem lambang. Bahasa adalah sejenis tanda yang dipergunakan oleh sekelompok sosial berdasarkan perjanjian dan untuk memahaminya haruslah dipelajari. Tanda itu sendiri diartikan sebagai hal atau benda yang mewakili sesuatu.

Ketiga, bahasa itu bermakna. Artinya, sebagai lambang yang mewakili sesuatu, bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan alam sekitar masyarakat yang memakainya.

Keempat, bersifat konvensional. Artinya, bahasa merupakan tanda yang harus dipelajari dan disepakati oleh para pemakainya.

Kelima, bahasa itu merupakan sistem bunyi. Hakikatnya bahasa adalah bunyi. Apa yang kita kenal dengan bahasa tulis hanyalah merupakan turunan dari bunyi. Bahasa tulis bersifat sekunder.

Keenam, bahasa bersifat arbitrer. Artinya, tidak ada hubungan wajib antara satuan-satuan bahasa dengan yang dilambangkannya. Sebagai contoh, sebuah benda oleh sekelompok masyarakat dinamai meja sedangkan oleh kelompok masyarakat yang lain dinamai table.
Ketujuh, bahasa bersifat produktif. Artinya, bahasa sebagai sebuah system yang unsur-unsurnya terbatas dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya. Sebagai contoh, dengan jumlah fonem yang ada dalam bahasa Indonesia, terdapat puluhan ribu kata yang mengandung fonem-fonem tersebut. Bahkan, dengan fonem-fonem yang dimiliki bahasa Indonesia dapat dibentuk kata-kata yang baru selain kata-kata yang sudah ada.

Kedelapan, bahasa bersifat unik. Artinya, setiap bahasa memiliki kekhasan. Sebagai contoh, kaidah meN- tidak terdapat dalam kaidah bahasa manapun. Kaidah meN- menjadi ciri khas bahasa Indonesia.

Kesembilan, bahasa bersifat universal. Ciri suatu bahasa terdapat pula dimiliki oleh bahasa yang lain. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia ajektif selalu mengikuti nomina seperti buku tebal, rambut indah, rumah besar, dan sebagainya. Kaidah seperti ini terdapat pula dalam bahasa-bahasa lain seperti bahasa Wels di Inggris, bahasa Perancis, Tonkawa di Amerika, dan Swahili di Afrika.

Kesepuluh, bahasa itu bervariasi. Kebervariasian ini disebabkan oleh masyarakat pemakai bahasa yang beragam, baik status social maupun latar belakang budayanya. Masyarakat bahasa itu ada yang berpendidikan ada yang tidak; ada yang berprofesi dokter, petani pegawai negeri, buruh, dan nelayan; ada yang tinggal di kota dan ada yang tinggal di desa; ada yang anak-anak, remaja, dan dewasa. Dengan latar belakang yang beragam itulah, bahasa digunakan oleh masyarakat bahasa menjadi bervariasi.

Kesebelas, bahasa itu merupakan identitas sosial. Bahasa adalah pembeda yang sangat menonjol. Sebagai contoh, bahasa Indonesia merupakan identitas bagi masyarakat Indonesia.
Merujuk pada karakteristik bahasa di atas, maka dapat kita pastikan bahwa bahasa Indonesia adalah normal science. Begitu pula apabila kita merujuk pada sejarah bahasa Indonesia yang merujuk pada rumpun Melayu.

Sebagai normal science, bahasa Indonesia tentunya memiliki tata bahasa sebagai aturan baku sebuah bahasa. Tata bahasa yang pertama kali dikenal dalam bahasa Indonesia adalah tata bahasa tradisional. Tata bahasa tradisional ini ditandai dengan munculnya percetakan nasional pertama, Balai Pustaka.

Dalam tata bahasa tradisonal, kelas kata diperlakukan begitu istimewa, sebagai inti tata bahasa. Berbeda dengan linguistik modern (struktural dan transformasional), klasifikasi atau kategori kata hanyalah sebagai salah satu aspek tata bahasa, sejajar dengan aspek-aspek lainnya yang harus mendapatkan perlakuan yang seimbang jika akan mendeskripsikan tata bahasa secara memadai (Kridalaksana, 1986:5).

Penggolongan kata da1am suatu bahasa itu penting, kita tidak bisa menyangkalnya. Crystal (1967) menyatakan, “Penggolongan kata menyederhanakan pemerian struktur bahasa dan merupakan tahapan yang tidak boleh dilalui dalam penyusunan tata bahasa suatu bahasa (Ramlan, 1935:1), oleh karena itu, setiap membicarakan mengenai tata bahasa tentu akan melibatkan penbicaraan tentang jenis kata. Tanpa penjenisan kata, kita tidak akan bisa membahas struktur frasa, klausa, dan kalimat yang merupakan bagian dari kalimat.

Anomali dalam Bahasa Indonesia
Ada beberapa kriteria yang dipegang dalam mengolongkan kata. “Perlakuan” terhadap kata akan berbeda, jika kita memegang kriteria yang berbeda pula. Itulah sebabnya pembagian kata antara satu pakar dengan pakar lainnya, antara satu aliran atau golongan yang satu dengan yang lain, kadang-kadang tidak sama. Ada empat kriteria yang dipegang untuk menggolongkan atau membicarakan kata. Keempat kriteria itu ialah: (1) semantis (makna); (2) ortografik; (3) fonologik; dan (4) gramatik. (Ramlan, 1985:5)

Bila kita membicarakan kata secara semantik, seperti tata bahasa tradisional, bahwa kata ialah kumpulan huruf yang mengandung arti. Jadi setiap kata tentu mengandung arti (Hadidjaja; Zainuddin dalam Ramlan, 1985:5).

Pembahasan kata yang kedua adalah secara ortografik. Secara ortografik kata dibatasi oleh spasi. Jika satuan gramatik ditulis antara dua spasi maka satuan itu termasuk kata. Pembahasan kata secara ortografik pun jelas tidak mencakup semua satuan gramatik (Ramlan, 1985:5).
Pembicaraan kita yang ketiga yaitu dari segi fonologik. Ini sebenarnya dipelopori oleh L. Bloomfield dalam bukunya yang mengatakan bahwa kata sebagai bentuk bebas yang paling kecil. Batas kata yang dikemukakan itu berdasarkan pendapatnya tentang perbedaan bentuk bebas dan bentuk ikat. Sebagai bentuk yang tidak pernah berdiri sendiri sebagai tuturan. Setiap bentuk bebas yang tidak terdiri dari bentuk bebas yang lebih kecil, menurut batasan yang dikemukakan oleh Bloomfield, termasuk kata. Berdasarkan definisi itu tentulah satuan-satuan seperti: bahwa, terhadap, kepada, meskipun tentu tidak dapat dimasukkan ke dalam kata. Jika demikian, pembahasan kata dari segi fonologis pun tidak mencakup semua satuan gramatik (Ramlan, 1985:5).

Pembicaraan kita yang keeempat ditinjau dari segi gramatik. Berdasarkan itu kata yang dapat didefinisikan sebagai satuan gramatik bebas yang paling kecil. Kata bebas disini dipakai dalam arti secara gramatik, atau dengan kata lain dapat diisolasikan. Kata dapat dijelaskan sebagai morf atau deretan morf yang memiliki mobilitas luar yang potensial dalam struktur yang lebih besar dan stabilitas dalam (Ramlan, 1985:7).

Tata bahasa tradisional pada dasarnya berbicara secara semantis. Hukum alam menyatakan bahwa bahasa akan hidup jika ada interaksi sosial. Dalam pergaulan, interaksi sering menimbulkan benturan sosial yang diakibatkan ketidakcocokan antara keinginan dan kenyataan. Dalam interaksi sosial itu akan terjadi saling pengaruh. Orang yang lebih aktif akan mendominasi interaksi itu.

Tidak bisa disangkal, dalam sudut pandang bahasa sebagai media komunikasi antarsesama manusia, penggunaan bahasa (khususnya kata) terkadang menjadi kendala dalam usaha penyampaian maksud. Sebagai pengguna bahasa yang berada dalam suatu masyarakat bahasa, kita tidak dapat memaksakan diri dan memaksa orang lain untuk selalu berhaluan pada kosakata baku. Ketidaksuaian dalam berbahasa bisa saja menjadi akar kesalahpahaman para pengguna bahasa.

Dengan demikian, “ketidakmampuan” tata bahasa tradisional dalam mengakomodir fungsi komunikasi bahasa secara praktis menimbulkan anomali yang memacu untuk munculnya teori baru mengenai bahasa. Anomali-anomali ini bukan hanya pada masalah penggolongan kata saja. Dalam hal tataklausa dan tata kalimat pun ikut bermunculan.

Krisis dalam Bahasa Indonesia
Seperti apa yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, tata bahasa tradisional telah dinyatakan tidak mampu mengakomodir fungsi komunikasi bahasa. Ketidakmampuan ini menimbulkan anomaly-anomali yang memicu munculnya tata bahasa yang lebih mengakomodir fungsi komunikasi bahasa. Berikut ini adalah beberapa anomaly (krisis) yang akan memicu munculnya teori baru dalam ketatabahasaan.

Pertama, tata bahasa tradisional dalam penggolongan kata cenderung hanya melihat dari struktur semantisnya saja. Dengan demikian, kata-kata yang tidak memiliki makna secara langsung tidak dapat dikatakan sebagai kata. Sebagai contoh, kata “juang”, “giur”, “alir” bukan termasuk kata, karena secara semantic tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut akan memiliki makna apabila direkatkan dengan afiks.

Kedua, tata bahasa tradisional menyatakan bahwa inti dari kalimat adalah subjek, predikat dan objek. Dengan demikian, kalimat harus dibentuk minimal berpola S-P-O sehingga, apabila terdapat kalimat yang tidak memiliki salah satu unsure tersebut, tidak dapat disebut kalimat. Hal ini ternyata tidak berlaku dalam kalimat aktif intransitif. Dalam kalimat intransitif, predikat tidak lagi memerlukan objek. Kalaupun ada satuan yang mengikuti predikat, maka satuan tersebut dinyatakan sebagai pelengkap.

Ketiga, tata bahasa tradisional menganggap bahwa satuan terbesar dalam bahasa adalah kalimat. Hal ini memiliki arti bahwa paragraph dan wacana tidak termasuk ke dalam satuan bahasa. Pada kenyataannya, paragraf dan wacana memiliki struktur tersendiri yang menjadikannya sebagai satu yang lebih besar dari kalimat.

Merujuk pada kumpulan anomaly yang muncul, maka para tata bahasawan merasakan perlunya teori yang lebih mengakomodir fungsi komunikasi bahasa. Dalam pandangan Kuhn, hal inilah yang dinamakan krisis yang akan memicu munculnya paradigm baru dalam tata bahasa Indonesia.

Paradigma Baru Bahasa Indonesia, Sebuah Verifikasi bukan Revolusi
Penggolongan kata secara tradisional berlandaskan arti. Namun sejak Ferdinand de Saussure memperkenalkan Linguistik struktural pada awal abad XX, para ilmu bahasawan dan tata bahasawan bahasa Indonesia merasa tidak puas atas pembagian jenis kata secara tradisional itu. Mereka yang merasa tidak puas itu antara lain: Slametmulyana, Anton M. Moeliono, Gorys Keraf, S. Wojowasito, dan Ramlan.

Slametmulyana dalam bukunya Kaidah Bahasa Indonesia II menggolongkan kata ditinjau dan fungsinya dalam kalimat, Anton M. Moeliono dalam tulisannya, “Suatu Reorientasi dalam Tata Bahasa Indonesia” yang termuat dalam Bahasa dan Kesusastran Indonsia halaman 45-52, menggolongkan kata berdasarkan kesamaan perilaku sintaktik, sedangkan Gorys Keraf membagi kata berdasarkan struktur morfologisnya. Yang dimaksud dengan struktur morfologis adalah bidang bentuk yang memberi ciri khusus terhadap kata-kata itu.

Bahasa pada dasarnya terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan bentuk atau form dan makna atau meaning. Lapisan bentuk terdiri atas dua tataran yaitu tataran bunyi dan tataran morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Tataran bunyi termasuk tataran fonologi, sedangkan morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana termasuk bidang tata bahasa atau gramatika. Tataran arti termasuk bidang semantik.

Dalam menggolongkan kata, Ramlan menggolongkannya secara formal. Kata formal merupakan bentuk kata sifat dari kata form yang berarti bentuk atau ujud. Jadi penggolongan secara formal maksudnya penggolongan jenis kata yang dilakukan Ramlan ini berdasarkan struktur fonologik dan gramatik. Hal ini berbeda dengan pendekatan yang dipergunakan oleh pakar bahasa tradisional yang memandang kata dari segi arti.

Bentuk manakah yang dipergunakan Ramlan? Tentu saja bentuk yang berupa struktur gramatik, sebab struktur fonologik bahasa Indonesia yang berupa unsur nonsegmental (suprasegmental) tidak ada yang berfungsi mengubah atau membedakan golongan kata. Pendekatan berdasarkan unsur gramatik pun tidak meliputi semua unsur, melainkan hanya struktur sintaktik, struktur morfologik diabaikan struktur sintaktik ini meliputi frasa, klausa, dan kalimat, Itulah yang dijadikan dasar pemikiran Ramlan dalam menggolongkan kata bahasa Indonesia.

Merujuk pada paparan singkat dan sederhana terhadap tata bahasa (dalam hal ini penggolongan kata) sudahlah jelas bahwa tata bahasa tradisional telah memunculkan paradigm baru. Paradigm baru ini muncul karena anomaly-anomali yang terakumulasi dan membentuk krisis.
Kemunculan paradigm baru dalam bahasa Indonesia (tata bahasa structural) ini muncul tanpa terjadi sebuah revolusi ilmu. Hal ini dikarenakan, munculnya paradigm baru tata bahasa Indonesia tidak secara utuh menghilangkan pemahaman terhadap tata bahasa tradisional. Bukti riil akan hal ini adalah, tata bahasa edukasi (tata bahasa paedagogis) yang digunakan di Indonesia belum seutuhnya mengacu pada tata bahasa structural. Tata bahasa tradisional masih menjadi bagian dari tata bahasa paedagogis. Bahkan secara khusus pun belum terangkum tata bahasa paedagogis secara mandiri yang akan memperkuat keberadaan bahasa Indonesia sebagai sebuah ilmu. Inilah yang penulis sebut sebagai “Paradigma Baru Bahasa Indonesia, Sebuah Verifikasi bukan Revolusi”.

C. Falsifikasi Bahasa Indonesia sebagai Sebuah Ilmu
Ilmu bahasa semakin berkembang. Kini kita hidup di jaman linguistik modern. Jika dahulu para pakar bahasa mendeskripsikan suatu kiblatnya adalah tata bahasa Yunani Latin, kini tidak lagi. Jika kita mempelajari suatu bahasa, maka sistem bahasa itulah yang dipelajarinya secara langsung. Dengan kata lain para pakar bahasa atau linguis mendeskripsikan sistem yang adapada bahasa yang bersangkutan. Itulah yang membedakan linguis dengan tata bahasawan tradisional.

Berdasarkan kenyataan itulah, hasil linguis berlainan dengan hasil karya tata bahasawan tradisonal. Dalam tata bahasa tradisonal, kelas kata diperlakukan begitu istimewa, sebagai inti tata bahasa. Dalam linguistik modern, klasifikasi atau kategori kata hanyalah sebagai salah satu aspek tata bahasa, sejajar dengan aspek-aspek lainnya yang harus mendapatkan perlakuan yang seimbang jika akan mendeskripsikan tata bahasa secara memadai.

Para tata bahasawan hingga kini masih memperdebatkan tata bahasa yang mempu mengakomodir fungsi komunikasi bahasa. Sekaitan dengan hal itu, dengan pemikiran yang kreatif (Creative Logic), para tata bahasawan mulai menemukan kelemahan-kelemahan tata bahasa structural yang telah menjadi paradigm baru dalam tata bahasa Indonesia.

Kelemahan itu mulai muncul tatkala munculnya perilaku berbahasa yang lebih bersifat transformasional dan fungsional. Tata bahasa structural dianggap tidak mampu menjelaskan fenomena baru masyarakat dalam menggunakan bahasa dalam berkomunikasi. Kini, dalam masyarakat muncul ujaran yang hanya terdiri atas satu fungsi sintaksis saja. Sebagai contoh, kita sering mendengar ujaran para pedagang yang hanya menuturkan merek barang saja ketika menawarkan sesuatu.

“Aqua”, Aqua”

Dalam contoh tersebut, secara structural tidak dapat dijelaskan, apakah itu sebuah kalimat ujaran atau bukan. Namun secara transformasional dan fungsional, hal tersebut dapat dikatakan sebagai kalimat ellipsis.

Kalimat elispsis ini merupakan kalimat yang sebagian fungsi sintaksisnya dilesapkan dengan tujuan untuk mempersingkat fungsi komunikasai bahasa. Begitu pula dalam contoh kalimat berikut.

“Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.”

Dalam tata bahasa structural, kalimat tersebut dapat dikatakan kalimat yang tidak logis. Kata –nya dalam kata perhatiannya, dinilai tidak memiliki acuan yang jelas sebagai kata ganti persona ketiga. Sehingga kalimat tersebut dikatakan salah.

Sedangkan dalam tata bahasa transformasional dan fungsional dijelaskan bahwa dalam kalimat tersebut bukanlah kalimat tunggal, melainkan memiliki kalimat lain yang dilesapkan untuk menghemat dalam komunikasi.

Pemikiran-penikiran kreatif inilah yang menjadi penguji, apakan bahasa Indonesia ini sebuah ilmu atau bukan. Tidak perlu dipermasalahkan, apakah ini termasuk hal yang ilmiah atau bukan, karena sesungguhnya ilmu ini memiliki sifat yang absolute relative dan relative absolute. Justru dengan munculnya pemikiran-pemikiran kreatif logis seperti inilah ilmu dapat terus berkembang.

D. Purnawacana
Dalam uraian filsafat, setiap ilmu tentunya berbicara tentang aspek ontologism, epistemologis, dan aksiologis. Begitu pula dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini, bahasa Indonesia terurai secara epistemology yang mengungkap bahasa Indonesia sebagai ilmu.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia telah mengalami perubahan paradigma, mulai dari tata bahasa tradisional, tata bahasa structural, bahkan tata bahasa transformasional dan fungsional. Kemunculan paradigma-paradigma iniberawal dari tidak terakomodirnya fungsi komunikasi bahasa. Dengan demikian, bahasa (khususnya bahasa Indonesia) akan terus mengalami perkembangan yang akan memberikan manfaat bagi manusia, khususnya dalam berkomunikasi.

E. Pustaka Rujukan
Adiwijaya, Opi M. 2002. Peranan Bahasa. Diseminarkan dalam seminar mahasiswa dan dosen pada tanggal 18 Juli 2002, di Universitas Islam Nusantara Bandung

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka

Hamdani. 2008. “Bahasa Indonesia: antara Gengsi Sosial, Nasionalisme, dan Pengajarannya”. Buletin Media Nusantara. Bandung: Uninus.

Kwary, Deny A. 2003. Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik). diakses dari www.google.com

Kridalaksana, Harimurti. 1986. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Ramlan, M. 1985. Morfologi. Yogjakarta: UP Karyono.

Sugono, Dendy. 1995. Pelesapan Subjek dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Komentar

  1. Nice blog...
    Makasih share ilmunya.

    Salam santun, Kang Dani...

    -HN-

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP DASAR SASTRA

FONETIK DAN ALAT UCAP

INDUKSI, DEDUKSI DAN SILOGISME