KONFLIK ARJUNA DAN KARNA DALAM PUTRA MATAHARI-NYA KARSONO

A. Purwawacana

Puisi sebagai salah satu genre sastra, jelas bersifat mimesis. Untuk itu, seorang penyair harus mampu melepaskan ketersekatan diri dengan dirinya sendiri. Jika tidak, maka dia akan menghasilkan puisi yang keluh kesah, bukan puisi yang bermakna. Penyair harus mampu mengatasi perhatian pada diri sendiri lalu mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang bisa ditangkapnya. Jika itu dilakukan, maka dia akan menghasilkan puisi-puisi yang bagus.

Sebagai hasil kreasi manusia, puisi mampu memaparkan realitas di luar diri manusia persis apa adanya. Puisi merupakan sebuah karya sastra yang bisa menjadi sebuah cermin yang merupakan refleksi dari realita yang ada dalam suatu masyarakat. Inilah makna mimesis menurut Plato. Namun, puisi bukanlah barang mentah, ia telah menjadi sebuah masakan. Kita sebagai pembaca tinggal menyantapnya. Sebagai sebuah masakan, tentu peran penyair begitu jelas berfungsi sebagai koki. Apa yang menjadi bahan mentah yang ditangkap dari sebuah realita yang ada selanjutnya diolah dengan resepnya.

Penyair yang menyekatkan diri pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh-kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas. Sebagai manusia, penyair mengisi suatu ruangan. Dia menginjakkan kakinya di tanah, mengisap udara, memandang semua yang ada di sekitarnya. Selanjutnya pikiran dan hatinya bergulat, logika dan nuraninya berdebat tentang sesuatu yang ada di ling-kungannya. Perdebatan itu meluncur lewat puisi-puisinya.

Itulah salah satu tafsir yang diterjemahkan dari ucapan Subagio Sastrowardoyo yang penulis kutip dari Damono (2000). Penyair yang besar adalah penyair yang bukan hanya "membicarakan" diri sendiri tetapai harus peka dan benar-benar memahami keadaan yang ada di lingkungannya. Ia melihat gejala yang ada, menafsir makna dari gejala itu, memberi penilaian pada gejala itu, dan akhirnya menuangkan semua itu dalam larik dan bait-bait puisi. Dari proses itu, tampak sebuah upaya dari penyair untuk memperta-likan diri dengan --menurut istilah Sobagyo Sastrowardoyo-- lingkaran dunia yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan pendapat Goldman (1981) yang mengatakan bahwa karya sastra diciptakan sebagai hasil dari sebuah proses yang merespon situasi lingkungan dan sosialnya. Itulah sebabnya, karya sastra yang besar akan mampu mengindentifikasi kecenderungan-kecenderungan sosial yang penting pada zamannya sehingga bisa mencapai ekspresi yang padu dengan realita. Istilah Fokkema & Ibsch (1998) sastra adalah hamparan peristiwa dalam bentuk tulisan. Itulah sebabnya menurut Al-Khuli & Zayd (2004) menafsirkan sastra berarti menafsirkan sebuah kondisi suatu lingkungan.

B. Konsep Semiotik dalam Puisi

Istilah semiotik, apabila dilihat dari segi istilah berasal dari kata Yunani kuno “semieon” yang berarti tanda atau “sign” dalam bahasa Inggris. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan ekspresi.

Pendekatan semiotik bertolak dari asumsi bahwa suatu karya memiliki sistem tersendiri, yang memiliki dunianya sendiri, sebagai suatu realitas yang hadir atau dihadirkan dihadapan pemerhatinya, yang di dalamnya terkandung potensi komunikatif yang ditandai dengan adanya lambang yang memiliki nilai.

Dalam sebuah karya baik itu karya sastra maupun non-sastra, menurut pandangan semiotik memiliki sistem sendiri yang berupa sistem tanda atau kode. Tanda atau kode itu dapat disebut estetis yang secara potensial diberikan dalam suatu komunikasi. Kode yang bersifat tanda itu mempunyai banyak interpretasi. Dalam melihat karya ini, semiotik tidak terbatas pada sosok karya itu saja, tetapi menghubungkannya dengan sistem yang berada di luarnya. Dalam pendekatan semiotik, tanda atau kode sekecil apapun yang terdapat dalam suatu karya sangat penting untuk diperhatikan karena ikut membentuk sistem dari keseluruhannya.

Dalam menggunakan pendekatan semiotik, diperlukan langkah-langkah atau metode yang harus ditempuh. Langkah-langkah tersebut adalah.

1. Penelitian harus diawali dengan membaca dan menjelajahi karya yang dimaksud dengan penuh perhatian dan pemahaman, serta berusaha untuk mengerti kekhasan dan keunikan karya yang diteliti.

2. Analisis rebih rinci dan mendalam menyangkut keistimewaan yang terdapat dalam karya tersebut.

3. Mengaitkan hal-hal yang berada dalam tubuh karya tersebut dengan system dibandingkan dengan yang berada di luarnya.

Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik, indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki cirri-ciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (something that represent ssomething else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O.

Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda memperlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O).

Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Berdasarkan hal itulah tulisan ini mencoba untuk mengungkap dan memaparkan isi dari Putra Matahari-nya Karsono.

C. Konflik Arjuna dan Karna dalam Putra Matahari-nya Karsono

Sajak-sajak Pendek Bulan Terang merupakan kumpulan puisi Karsono H. Saputra yang diterbitkan tahun 2003 dengan 40 judul puisi di dalamnya. Puisi-puisi dalam kumpulan ini bertitimangsa tahun 2002. Seperti dikatakan oleh Sayuti (2002:12) bahwa paspor kepenyairan seseorang adalah sajak-sajaknya. Bukan yang lain, apalagi celoteh apologis demi menutupi kemandulan dan atau kebuntuan proses kreatif. Maka dengan kumpulan puisi inilah Karsono mengekspresikan diri sebagai seorang penyair. Tipikal nyata dalam kumpulan puisi ini, bisa diwakili oleh puisi berikut.

PUTRA MATAHARI

bunda

aku karna putra matahari

lahir dalam keranda yang terhanyut di kali

tumbal aib keperawanan

kurawa

kupersembahakan sendi dan darahku

pengganti madu yang kautuang di tubuhku

dan mahkota yang kau letakkan di kepalaku

arjuna

tak kuiri kasih dewa

tak kurebut puji dunia

kita hanya anak-anak wayang yang menjalani kodrat

dunia

inilah buah berat sebelah yang kautanam

dengan dalih suratan tangan

Puisi utuh Karsono di atas merupakan sampel tipikal karya-karyanya yang ada dalam Sajak-sajak Pendek Bulan Terang ini. Puisi yang ditulis tahun 2002 merupakan hasil penuangan apa yang dilihat mata lahir dan sekaligus mata batinnya. Dalam puisi ini, Karsono mencoba menggambarkan keadaan yang dilihatnya. Ia mengibaratkan dirinya sebagai seseorang yang berada dalam posisi yang salah di dalam sebuah Negara. Hal ini Karsono gambarkan dalam puisi Putra Matahari dengan mengadopsi latar Astinapura.

Bait pertama dari Putra Matahari merupakan pernyataan diri tentang posisi Karsono saat itu. Ia menggambarkan dirinya seperti Karna dalam lirik berikut: //bunda/ aku karna putra matahari/ lahir dalam keranda yang terhanyut di kali /tumbal aib keperawanan//. Karna adalah nama raja Angga yang merupakan tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia menjadi pendukung utama pihak Kurawa dalam perang besar melawan Pandawa. Padahal sesungguhnya, Karna merupakan kakak tertua dari tiga di antara lima Pandawa (Yudistira, Bimasena, dan Arjuna). Dalam bagian akhir perang besar tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak Kurawa, meski akhirnya gugur di tangan Arjuna.

Dalam larik kedua dikatakan bahwa /aku karna putra matahari/. Hal ini mengisahkan asal-usul kelahiran Karna. Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa dikisahkan seorang putri bernama Kunti yang pada suatu hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewamatahari terbit. Akibatnya, dewa penguasa matahari yaitu Surya pun muncul dan siap memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menolak karena ia sebenarnya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan sabda sang dewa, Kunti pun mengandung. Namun Surya juga membantunya segera melahirkan Karna. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti. dan mendapat anugerah putra darinya. Pada keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang

Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan KuruKerajaan Astinapura). Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya. Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena yang kemudian dikenal dengan nama Karna. Karena itulah Karsono menggunakan kata Putra Matahari. (

Bait kedua dari Putra Matahari merupakan pernyataan diri tentang posisi Karsono saat itu. Ia menggambarkan dirinya seperti Karna yang berada di pihak kurawa seperti dalam lirik berikut: //kurawa/kupersembahakan sendi dan darahku/pengganti madu yang kautuang di tubuhku/dan mahkota yang kau letakkan di kepalaku//. Kurawa adalah kelompok antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Nama Kurawa secara umum berarti "keturunan Kuru". Kuru adalah nama seorang Maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam wiracarita Mahabharata. Kurawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa. Jumlah mereka adalah seratus dan merupakan putra prabu Dretarastra yang buta dan permaisurinya, Dewi Gandari.

Dalam larik kedua dan ketiga bait ini disebutkan bahwa kupersembahakan sendi dan darahku/pengganti madu yang kautuang di tubuhku/dan mahkota yang kau letakkan di kepalaku/. Hal ini dikarenakan setelah Drona gugur pada hari kelima belas, Duryodana menunjuk Karna sebagai panglima yang baru. Karna maju perang dengan Salya raja Madra sebagai kusir keretanya, dengan harapan bisa mengimbangi Arjuna yang dikusiri Kresna. Salya sendiri sakit hati karena merasa direndahkan oleh Karna. Sambil mengemudikan kereta ia gencar memuji-muji kesaktian Arjuna untuk menakut-nakuti Karna.

Pada hari keenam belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain. Ketika Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna.

Bait ketiga dari Putra Matahari merupakan pernyataan diri tentang posisi Karsono saat itu. Ia menggambarkan keadaan dirinya seperti dalam lirik berikut: //arjuna/tak kuiri kasih dewa/tak kurebut puji dunia/kita hanya anak-anak wayang yang menjalani kodrat//. Mengapa dalam bait ini disinggung Arjuna?

Pada suatu ketika, Raja Drupada dari Kerajaan Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan Dropadi, puterinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Kesatria yang berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan Dropadi.

Berbagai kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.

Karna menyimpan sakit hati kepada Dropadi hingga ia mengumumkan bahwa seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas disebut sebagai istri, melainkan pelacur. Mendengar penghinaan Karna, Arjuna bersumpah kelak akan membunuhnya. Duryodana pun memerintahkan Dursasana agar menelanjangi Dropadi di depan umum. Namun, berkat pertolongan rahasia dari Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan.

Bait keempat dari Putra Matahari merupakan pernyataan diri tentang kepasrahan penulis. Ia menggambarkan keadaan dirinya seperti dalam lirik berikut: //dunia/inilah buah berat sebelah yang kautanam/dengan dalih suratan tangan//.

D. Purnawacana

Dengan puisi Putra Matahari, Karsono menyampaikan pengalaman lahir dan batinnya. Pengalaman lahir dan batin yang ia alami, ia tuangkan dalam bentuk puisi naratif. Seolah bercerita, Karsono “meminjam” tokoh Mahabharata dengan segala atributnya untuk menggambarkan hasil pengideraannya.

Hal seperti apa yang Karsono inderai? Banyak kemungkinan untuk memahami penginderaan yang Karsono alami. Jika kita mengacu pada symbol-simbol yang digunakan dalam setiap bait, pikiran kita akan tertuju pada permusuhan Arjuna dan Karna. Meskipun demikian, kita harus mampu menginterpretasikan siapa yang dimaksud dengan Arjuna dalam puisi itu dan siapa pula yang dimaksud dengan Karna.

Mungkin saja Karsono berposisi pada orang pertama. Namun tidak menutup kemungkinan pula kalau ia berposisi pada orang kedua. Yang jelas, dalam puisi tersebut memperlihatkan adanya perang antara dua buah sisi, kebaikan dan penghianatan dalam sebuah tatanan pemerintahan. Karsono menggambarkan Karna sebagai penghianat karena sebelum ia bergabung dengan Kurawa ia pernah berjuang bersama Arjuna. Selain itu, ia pun kakak sulung dari pandawa.

E. Pustaka Rujukan

Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Anwar, Moh. Wan. 1997. "Tanah Air dalam Sajak-sajak Agus R. Sarjono" dlm. Horison Edisi April 1997. Jakarta

Fokkema, D.W. & Ibsch, Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hoed, Benny H. 2002. “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sayuti, Suminto A. 2002. "Penyair, Sajak, dan Khalayak: Beberapa catatan Atas Karya Taufiq Ismail." dlm. Horison edisi Agustus 2002

Selden, Raman. 1996. Panduan pembaca Teori Sastra Masa Kini. (terjemahan Rachmat Djoko Pradopo). Yogyakarta: Gadjah mada University Press

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP DASAR SASTRA

FONETIK DAN ALAT UCAP

INDUKSI, DEDUKSI DAN SILOGISME